Search

Senin, 30 Mei 2011

Menyikapi Perselisihan dalam Rumah Tangga

Ada saatnya, di mana pasangan suami istri diuji dengan ketidakcocokan satu sama lainnya dalam suatu hal. Sebagai wanita shalihah, hendaklah selalu menjaga adab serta kesopanan dalam berbicara ataupun bertingkah laku. Kehormatan suami sebagai pimpinan keluarga tetap dijunjung tinggi. Rasulullah saw bersabda, “Istri yang mau menerima sifat pemarah suaminya, akan diberi ganjaran oleh Allah dengan ganjaran yang sama seperti yang diberikan kepada Asiah binti Muzhahim (istri Firaun).” ( Kitab Biharul Anwar, 247).
Rasulullah saw. bersabda, “Bila dua orang muslim tidak saling berbicara selama dua hari, maka keduanya telah keluar dari Islam, dan tidak akan ada persahabatan yang tersisa pada mereka. Dan salah seorang dari mereka yang mempunyai maksud untuk berbaik kembali akan masuk surga lebih cepat daripada yang lainnya pada hari Hisab.” ( Biharul Anwar, 103).
Juga sebagai seorang wanita shalihah hendaknya memahami dengan benar aturan Allah dalam hal berselisih di antara suami istri. Jika perselisihan ini disebabkan . nusyuz-nya istri, maka Allah memerintahkan beberapa jalan yang harus ditempuh oleh suami dalam memperbaikinya.
Yaitu dengan cara;
1. Memberi nasehat,
2. Berpisah tempat tidur,
3. Pukulan (yang tidak menyakitkan).

Peraturan ini telah diungkapkan oleh Allah dalam firman-Nya:
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka dari tempat tidur, dan pukullah mereka. ” (An-Nisa: 34) .
Tentu sebagai wanita shalihah, bila terjadi perselisihan, dan kesalahan di pihak kita, maka cukup dengan nasehat. Lalu segera memperbaiki diri, bertaubat dan beristighfar kepada Allah. Hendaklah jangan sekali-kali terlontar ucapan kotor dan menyakitkan suami dari mulut kita. Diriwayatkan bahwa Laqit bin Shabirah ra. bertanya kepada Nabi saw., “Ya Rasulullah, aku mempunyai istri yang lisannya suka mengeluarkan kata-kata yang tidak baik.” Sabda beliau, “Ceraikanlah ia.” Aku berkata, “Aku mempunyai anak darinya dan aku telah hidup bersamanya lama sekali.” Sabda beliau, “Nasehatilah ia, jika ia mau menerima nasehat, maka terimalah. Dan jangan kamu memukul istrimu sebagaimana kamu memukul budak-budakmu.” (AbuDawud).

Akhlak Mulia dlm Rumah Tangga



penulis Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah
Sakinah Mengayuh Biduk 23 - Juni - 2007 22:21:14
Pihak ketiga selama ini dianggap faktor utama yg memicu pertikaian dlm rumah tangga. Namun jika kita telisik lbh dlm sejati segala ketakserasian yg terjadi lbh disebabkan akhlak dan perilaku suami atau istri sendiri. Sikap-sikap yg jauh dari tuntunan agama yg dipraktikkan alhasil memupuk tiap perselisihan antara suami dan istri yg kemudian menumbuhkan konflik yg bisa berbuah perceraian.
Dalam Al-Qur`an yg mulia termaktub sebuah ayat yg berbunyi:
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيْمٍ
“Sungguh engkau berbudi pekerti yg agung.”
Ayat ini memuat pujian Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Rasul-Nya yg pilihan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kenyataan memang tdk ada manusia yg lbh sempurna akhlak daripada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai suatu anugerah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala yg telah memberi taufik kepada beliau. Tidak ada satu pun kebagusan dan kemuliaan melainkan didapatkan pada diri beliau dlm bentuk yg paling sempurna dan paling utama. Hal ini pun diakui oleh para sahabat yg menyertai hari-hari beliau sebagaimana dinyatakan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحْسَنَ النَّاسِ خُلُقًا
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam manusia yg paling bagus akhlaknya.”
Bagaimana Anas tdk memberikan sanjungan yg demikian sementara ia telah berkhidmat pada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sejak usia sepuluh tahun dan terus menyertai beliau selama 9 tahun.1 tdk pernah sekalipun ia mendapat hardikan dan kata-kata kasar dari Nabi yg mulia ini.
فَخَدَمْتُهُ فِي السَّفَرِ وَالْحَضَرِ، وَاللهِ مَا قَالَ لِي لِشَيْءٍ صَنَعْتُهُ: لِمَ صَنَعْتَ هَذَا هَكَذَا؟ وَلاَ لِشَيْءٍ لـَمْ أَصْنَعْهُ: لِمَ لَمْ تَصْنَعْ هَذَا هَكَذَا؟
“Aku berkhidmat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika safar maupun tidak. Demi Allah terhadap suatu pekerjaan yg terlanjur aku lakukan tdk pernah beliau berkata ‘Kenapa engkau lakukan hal tersebut demikian?’ Sebalik bila ada suatu pekerjaan yg belum aku lakukan tdk pernah beliau berkata ‘Mengapa engkau tdk lakukan demikian?’.”
Demikian pengakuan Anas radhiyallahu ‘anhu.
Kata Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu: “Dalam hadits ini ada keterangan tentang sempurna akhlak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagus pergaulan kesabaran yg luar biasa kemurahan hati dan pemaafannya.”
Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika dita oleh Sa’d bin Hisyam bin Amir tentang akhlak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ia menjawab:
كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ، أَمَا تَقْرَأُ الْقُرْآنَ قَوْلَ اللهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى : ؟
“Akhlak beliau adl Al-Qur`an. Tidakkah engkau membaca firman Allah Subhanahu wa Ta’ala ‘Sungguh engkau berbudi pekerti yg agung’?”
Gambaran apa saja yg diperintahkan Al-Qur`an beliau lakukan. Dan apa saja yg dilarang Al-Qur`an beliau tinggalkan. Selain memang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menciptakan beliau dgn tabiat dan akhlak yg mulia seperti rasa malu dermawan berani penuh pemaafan sangat sabar dan lain sebagai dari perangai-perangai yg baik.
Kebagusan akhlak ini tampak dari diri beliau ketika bergaul dgn istri sanak famili sahabat masyarakat bahkan dgn musuhnya. tdk heran masyarakat Quraisy yg paganis ketika itu memberi gelar pada beliau Al-Amin orang yg terpercaya jujur tdk pernah dusta lagi amanah sebagai bentuk pengakuan terhadap salah satu pekerti beliau yg mulia.
Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam Bersama Istrinya
Keberadaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pemimpin tiap hari tersibukkan dgn beragam persoalan umat mengurusi dan membimbing mereka bukanlah menjadi alasan beliau utk tdk meluangkan waktu membantu istri di rumah. Bahkan didapati beliau adl orang yg perhatian terhadap pekerjaan di dlm rumah sebagaimana persaksian Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika dita tentang apa yg dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dlm rumah. Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan:
كاَنَ يَكُوْنُ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ - تَعْنِي خِدْمَةَ أَهْلِهِ - فَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاَةُ خَرَجَ إِلَى الصَّلاَةِ
“Beliau biasa membantu istrinya. Bila datang waktu shalat beliau pun keluar utk menunaikan shalat.”
Beliau ikut turun tangan meringankan pekerjaan yg ada seperti kata istri beliau Aisyah radhiyallahu ‘anha:
كَانَ بَشَرًا مِنَ الْبَشَرِ، يَفْلِي ثَوْبَهُ وَيَحْلُبُ شَاتَهُ وَيَخْدُمُ نَفْسَهُ
“Beliau manusia sebagaimana manusia yg lain. Beliau membersihkan pakaian memerah susu kambing dan melayani diri sendiri.”
Sifat penuh pengertian kelembutan kesabaran dan mau memaklumi keadaan istri amat lekat pada diri Rasul. Aisyah radhiyallahu ‘anha berbagi cerita tentang kasih sayang dan pengertian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
دَخَلَ عَلَيَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ تُغَنِّيَانِ بِغِنَاءِ بُعَاثَ، فَاضْطَجَعَ عَلَى الْفِرَاشِ وَحَوَّلَ وَجْهَهُ. وَدَخَلَ أَبُوْ بَكْرٍ فَانْتَهَرَنِي وَقَالَ: مِزْمَارَةُ الشَّيْطَانِ عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ فَأَقْبَلَ عَلَيْهِ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: دَعْهُماَ. فَلَمَّا غَفَلَ غَمَزْتُهُمَا فَخَرَجَتَا
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke rumahku sementara di sisiku ada dua budak perempuan yg sedang berdendang dgn dendangan Bu’ats2. Beliau berbaring di atas pembaringan dan membalikkan wajahnya. Saat itu masuklah Abu Bakr. Ia pun menghardikku dgn berkata ‘Apakah seruling setan dibiarkan di sisi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam?’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadap ke arah Abu Bakr seraya berkata ‘Biarkan keduanya’.3 Ketika Rasulullah telah tertidur aku memberi isyarat kepada kedua agar menyudahi dendangan dan keluar. Kedua pun keluar.”
وَكَانَ يَوْمُ عِيْدٍ يَلْعَبُ السُّوْدَانُ بِالدَّرَقِ وَالْحِرَابِ، فَإِمَّا سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَإِمَّا قَالَ: تَشْتَهِيْنَ تَنْظُرِيْنَ؟ فَقُلْتُ: نَعَمْ، فَأَقَامَنِي وَرَاءَهُ، خَدِّي عَلَى خَدِّهِ، وَهُوَ يَقُوْلُ: دُوْنَكُمْ ياَ بَنِي أَرْفِدَةَ. حَتَّى إِذَا مَلِلْتُ، قَالَ: حَسْبُكِ؟ قُلْتُ: نَعَمْ. قَالَ: فَاذْهَبِي
“Biasa pada hari raya orang2 Habasyah bermain perisai dan tombak . Aku yg meminta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau sendiri menawarkan dgn berkata ‘Apakah engkau ingin melihat permainan mereka?’ ‘Iya’ jawabku. Beliau pun memberdirikan aku di belakang pipiku menempel pada pipi beliau. Beliau berkata: ‘Teruskan wahai Bani Arfidah4.’ Hingga ketika aku telah jenuh beliau berta ‘Cukupkah?’ ‘Iya’ jawabku. ‘Kalau begitu pergilah’ kata beliau.”
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata: “Dalam hadits ini ada keterangan tentang sifat yg dimiliki Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa penyayang penuh kasih berakhlak yg bagus dan bergaul dgn baik terhadap keluarga istri dan selain mereka.”
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu saat menafsirkan ayat: وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ menyatakan “Termasuk akhlak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau sangat baik hubungan dgn para istri beliau. Wajah senantiasa berseri-seri suka bersenda gurau dan bercumbu rayu bersikap lembut terhadap mereka dan melapangkan mereka dlm hal nafkah serta tertawa bersama istri-istrinya. Sampai-sampai beliau pernah mengajak Aisyah Ummul Mukminin radhiyallahu ‘anha berlomba lari utk menunjukkan cinta dan kasih sayang beliau terhadapnya.”
Ummul Mukminin Shafiyyah radhiyallahu ‘anha berkisah bahwa suatu malam ia pernah mengunjungi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat sedang i’tikaf di masjid pada sepuluh hari yg akhir dari bulan Ramadhan. Shafiyyah berbincang bersama beliau beberapa waktu. Setelah ia pamitan utk kembali ke rumahnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bangkit utk mengantarkan istrinya. Hingga ketika sampai di pintu masjid di sisi pintu rumah Ummu Salamah lewat dua orang dari kalangan Anshar kedua mengucapkan salam lalu berlalu dgn segera. Melihat gelagat seperti itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegur kedua “Pelan-pelanlah kalian dlm berjalan tdk usah terburu-buru seperti itu krn tdk ada yg perlu kalian khawatirkan. Wanita yg bersamaku ini Shafiyyah bintu Huyai istriku.” Kedua menjawab “Subhanallah wahai Rasulullah tidaklah kami berprasangka jelek padamu.” Beliau menanggapi “Sesungguh setan berjalan pada diri anak Adam seperti beredar darah dan aku khawatir ia melemparkan suatu prasangka di hati kalian.”
Akhlak Mulia dlm Rumah Tangga
Tuturan di atas hendak memberikan gambaran kepada pembaca tentang indah rumah tangga seorang muslim yg memerhatikan akhlak mulia dlm pergaulan suami istri sebagaimana rumah tangga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga perhatian terhadap kemuliaan akhlak ini menjadi satu keharusan bagi seorang suami maupun seorang istri. Karena terkadang ada orang yg bisa bersopan santun berwajah cerah dan bertutur manis kepada orang lain di luar rumah namun hal yg sama sulit ia lakukan di dlm rumah tangganya. Ada orang yg bisa bersikap pemurah kepada orang lain ringan tangan dlm membantu suka memaafkan dan berlapang dada namun giliran berhadapan dgn “orang rumah” istri ataupun anak sikap seperti itu tdk tampak pada dirinya.
Menyinggung akhlak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada keluarga mk hal ini tdk hanya berlaku kepada para suami sehingga para istri merasa suami sajalah yg tertuntut utk berakhlak mulia kepada istrinya. Sama sekali tdk dapat dipahami seperti itu. Karena akhlak mulia ini harus ada pada suami dan istri sehingga bahtera rumah tangga dapat berlayar di atas kebaikan. Memang suamilah yg paling utama harus menunjukkan budi pekerti yg baik dlm rumah tangga krn dia sebagai qawwam sebagai pimpinan. Kemudian dia tertuntut utk mendidik anak istri di atas kebaikan sebagai upaya menjaga mereka dari api neraka sebagaimana difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيْكُمْ نَارًا وَقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلاَئِكَةٌ غِلاَظٌ شِدَادٌ لاَ يَعْصُوْنَ اللهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ
“Wahai orang2 yg beriman jagalah diri-diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yg bahan bakar adl manusia dan batu penjaga malaikat-malaikat yg kasar yg keras yg tdk pernah mendurhakai Allah terhadap apa yg diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yg diperintahkan.”
Seorang istri pun harus memerhatikan perilaku kepada sang suami sebagai pemimpin hidupnya. tdk pantas ia “menyuguhi” suami ucapan yg kasar sikap membangkang membantah dan mengumpat. tdk semesti ia tinggi hati terhadap suami dari mana pun keturunan seberapa pun kekayaan dan setinggi apa pun kedudukannya. tdk boleh pula ia melecehkan keluarga suami menyakiti orang tua suami menekan suami agar tdk memberikan nafkah kepada orang tua dan keluarganya.
Kenyataan banyak kita dapati istri yg berani kepada suaminya. tdk segan saling berbantah dgn suami bahkan adu fisik. Ia tdk merasa berdosa ketika membangkang pada perintah suami dan tdk menuruti kehendak suami. Ia merasa tenang-tenang saja ketika hak suami ia abaikan. Ia menganggap biasa perbuatan menyakiti mertua. Ia tekan suami agar tdk memberi infak pada keluarganya. Ia mengumpat ia mencela ia menyakiti Istri yg seperti ini gambaran jelas bukan istri yg berakhlak mulia dan bukanlah istri shalihah yg dinyatakan dlm hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ
“Sesungguh dunia itu adl perhiasan5 dan sebaik-baik perhiasan dunia adl wanita/istri shalihah.”
Dan bukan istri yg digambarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhuma:
أَلاَ أُخْبِرُكَ بِخَيْرِ مَا يَكْنِزُ الْمَرْءُ، الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، إِذَا نَظَرَ إِلَيْهَا سَرَّتْهُ وَإِذَا أَمَرَهَا أَطَاعَتْهُ وَإِذَا غَابَ عَنْهَا حَفِظَتْهُ
“Maukah aku beritakan kepadamu tentang sebaik-baik perbendaharaan seorang lelaki yaitu istri shalihah yg bila dipandang akan menyenangkannya6 bila diperintah7 akan menaatinya8 dan bila ia pergi si istri ini akan menjaga harta dan keluarganya.”
Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullahu menyatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memandang perlu memberi kabar gembira kepada para sahabat tentang perbendaharaan harta mereka yg terbaik di mana harta ini lbh baik dan lbh kekal yaitu istri yg shalihah yg cantik lahir batin. Karena istri yg seperti ini akan selalu menyertai suaminya. Bila dipandang suami ia akan menyenangkannya. Ia tunaikan kebutuhan suami bila suami membutuhkannya. Ia dapat diajak bermusyawarah dlm perkara suami dan ia akan menjaga rahasia suaminya. Bantuan kepada suami selalu diberikan ia menaati perintah suami. Bila suami sedang bepergian meninggalkan rumah ia akan menjaga diri harta suami dan anak-anaknya.
Oleh krn itu wahai para istri perhatikanlah akhlak kepada suami dan kerabatnya. Ketahuilah akhlak yg baik itu berat dlm timbangan nanti di hari penghisaban dan akan memasukkan pemilik ke dlm surga sebagaimana dikabarkan dlm hadits berikut ini. Abud Darda` z mengabarkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
مَا مِنْ شَيْءٍ أَثْقَلُ فِي مِيْزَانِ الْمُؤْمِنِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ وَإِنَّ اللهَ يُبْغِضُ الْفَاحِشَ الْبَذِئَ
“Tidak ada sesuatu yg lbh berat dlm timbangan seorang mukmin kelak di hari kiamat daripada budi pekerti yg baik. Dan sungguh Allah membenci orang yg suka berkata keji berucap kotor/jelek.”
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata:
سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ الْجَنَّةَ، قاَلَ: تَقْوَى اللهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ. وَسُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ، قَالَ: الْفَمُ وَالْفَرْجُ
“Rasulullah dita tentang perkara apa yg paling banyak memasukkan orang ke dlm surga. Beliau menjawab ‘Takwa kepada Allah dan budi pekerti yg baik.’ Ketika dita tentang perkara yg paling banyak memasukkan orang ke dlm neraka beliau jawab ‘Mulut dan kemaluan’.”
Bagi para suami hendak pula memerhatikan pergaulan dgn istri krn Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا، وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ
“Mukmin yg paling sempurna iman adl yg paling baik akhlak dan sebaik-baik kalian adl yg paling baik terhadap istri-istrinya.”
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Kata Anas radhiyallahu ‘anhu:
خَدَمْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تِسْعَ سِنِيْنَ ..
“Aku berkhidmat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selama sembilan tahun.”
2 Bu’ats adl hari yg masyhur di antara hari-hari yg berlangsung dlm sejarah orang Arab. Pada hari tersebut terjadi peperangan besar antara Aus dan Khazraj. Peperangan antara kedua terus berlangsung selama 120 tahun sampai datang Islam. Syair yg didendangkan dua anak perempuan tersebut berbicara tentang peperangan dan keberanian. Sementara keberanian diperlukan utk membantu agama ini. Adapun nyanyian yg menyebutkan perbuatan keji perbuatan haram dan ucapan yg mungkar mk terlarang dlm syariat ini. Dan tdk mungkin nyanyian seperti itu didendangkan di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu beliau diam tdk mengingkarinya.
3 Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan istri mendengarkan dendangan tersebut krn hari itu bertepatan dgn hari raya . Sementara pada hari raya diperkenankan bagi kaum muslimin utk menampakkan kegembiraan bahkan hal ini termasuk syiar agama selama dlm koridor syariat tentunya. Dan hadits ini bukanlah dalil utk menyatakan boleh bernyanyi dan mendengarkan nyanyian baik dgn alat ataupun tanpa alat sebagaimana anggapan kelompok Sufi.
4 Sebutan utk orang2 Habasyah
5 Tempat utk bersenang-senang.
6 Karena keindahan dan kecantikan secara lahir krn kebagusan akhlak secara batin atau krn dia senantiasa menyibukkan diri utk taat dan bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
7 Dengan perkara syar’i atau perkara biasa.
8 Mengerjakan apa yg diperintahkan dan melayaninya.
Sumber: www.asysyariah.com
DEFINISI NUSYUZ

1. Istri Nusyuz
Secara bahasa, nusyuz berarti penentangan. Sedangkan, dalam istilah fikih praktis, sebagaimana yang dijelaskan Imam Khameini dalam kitabnya: “Istri nusyuz, adalah istri yang telah keluar dari ketaatan kepada suaminya dan tidak menjalankan segala kewajiban yang telah diperintahkan kepadanya, seperti: tidak memenuhi kebutuhan biologis suami, tidak menjauhkan dirinya dari hal-hal yang tidak disukai dan menyebabkan suami tidak bergairah kepadanya, tidak berhias dan membersihkan dirinya padahal suami menginginkannya dan keluar rumah tanpa izin suaminya. Oleh karenanya, seorang istri tidak masuk dalam katagori nusyuz hanya dengan meninggalkan ketaatan atas sesuatu yang tidak diwajibkan pada seorang istri. Maka, jika ia tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah dan segala kebutuhan suami yang tidak berkaitan dengan kebutuhan biologis seperti: menyapu, menjahit, memasak dan selainnya—walaupun menyiapkan air minum dan menyiapkan tempat tidur—semua itu tidak masuk katagori nusyuz”.[35]
2. Suami Nusyuz
Imam Khameini dalam kitabnya menjelaskan: “Nusyuz pun dapat terjadi pada seorang suami. Yaitu, jika seorang suami tidak menjalankan kewajiban yang menjadi hak-hak istri, seperti tidak memberikan nafkah dan lain sebagainya”.[36]
Langkah-langkah Menghadapi Suami dan Istri Nusyuz dalam al-Qur’an
Terdapat empat ayat yang menggunakan kata nusyuz dalam al-Qur’an. Yaitu dalam surat Mujadalah ayat 11, al-Baqarah ayat 259, al-Imron ayat 128 dan ayat 34. Namun hanya pada dua ayat yang berhubungan dengan pembahasan sekarang ini. Berkenaan langkah menghadapi istri nusyuz al-Qur’an menjelaskan: “…Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka, lalu pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan lalu pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya…”.[37] Jadi menurut al-Qur’an langkah-langkah menghadapi istri yang nusyuz adalah sebagai berikut: pertama, dinasehati. Kedua, jika nasehat tidak memberikan pengaruh, maka masuk langkah kedua yaitu pisah tempat tidur. Ketiga, jika langkah kedua tidak mempan juga, maka memasuki langkah selanjutnya yaitu memukul istri.
Dalam perkara nusyuz suami, al-Qur’an menjelaskan: “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz, atau sikap tidak acuh suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik…”.[38] Sekilas, dalam kedua ayat tersebut terdapat diskriminatif dan bias gender. Untuk istri nusyuz, jalan terakhirnya adalah berupa pukulan. Sementara, untuk suami nusyuz dituntut untuk berdamai. Dalam makalah sebelumnya, sudah dijelaskan bahwa hukum-hukum dan ajaran-ajaran Islam disusun sesuai fitrah manusia. Adanya perbedaan dalam hukum bukan berarti sebuah diskriminasi tetapi kembali pada perbedaan yang terdapat pada lelaki dan perempuan, misalnya perbedaan dari sisi psikologis. Sebagaimana sebagian ulama mengatakan, salah satu hikmah dari perbedaan dalam menghadapi suami atau istri yang nusyuz adalah kembali pada perbedaan psikologis keduanya.
Sedang dalam masalah batasan pukulan, beberapa ulama menjelaskan : [39]
1. Syahid ats-Tsani, dalam kitab masalik al-Afham menjelaskan : “Dalam sebagian riwayat, dijelaskan memukul wanita dengan kayu miswak, …”.
2. Syeikh Tusi dalam kitab al-Mabsuth mengatakan : “Maksud dari pukulan adalah, memukul dengan kain sapu tangan yang diikatkan, yang tidak boleh menyebabkan memar…”.
3. Fahrurozi, mengatakan : “Dibolehkan memukul, jika cara selain memukul tidak dapat berpengaruh lagi (tidak ada cara lain selain pukulan)”.
4. Menurut as-Suyuthi pukulan tidak boleh keras dan membahayakan.
Langkah-langkah Menghadapi Suami atau Istri Nusyuz dalam Fikih Praktis
Imam Khameini menjelaskan: “Jika nampak pada istri, tanda-tanda nusyuz atau penentangan, seperti: kebiasaan prilaku dan perkataannya berubah, menjawab perkataan suami dengan kasar padahal sebelumnya berkata dengan lemah lembut, menampakkan muka masam dan marah pada suami, menjengkelkan (menyakitkan hati) dan bersungut-sungut padanya, padahal sebelumnya tidak seperti itu, maka nasehatilah ia. Jika istri tidak mendengarkan nasehat suaminya, lantas iapun melakukan salah satu perbuatan yang menjadikan nusyuz (seperti keluar rumah tanpa izin suami, atau tidak melayani suami…), maka dalam hal ini, diperbolehkan atas suami untuk berpisah tidur dengannya, artinya dapat tidur bersama, tapi dalam keadaan membelakanginya, atau pisah tidur dengannya. Jika nasehat dan pisah tidur tidak berpengaruh padanya, maka suami boleh memukulnya yang menyebabkan ia kembali sadar dan meninggalkan penentangannya. Tidak boleh berlebihan dalam memukul asal tujuan pemukulan terwujud. Jika istri tetap tidak kembali sadar, maka boleh memukul kembali dengan lebih keras, dengan syarat tidak menyebabkan luka, tidak memberikan bekas hitam atau merah di badan. Dan hendaknya, pukulan dilakukan dengan tujuan untuk menyadarkan (ishlah), bukan untuk melampiaskan kemarahan atau untuk membalas dendam. Jika pukulan tersebut menyebabkan luka dan memberikan bekas merah atau hitam (memar), maka suami wajib membayar denda (diyah)”.[40]
Imam melanjutkan: “Jika nampak pada suami tanda-tanda nusyuz dengan tidak memberikan hak-hak istri yang menjadi kewajibannya, maka istri berhak untuk menuntut hak-haknya dan menasehati suami. Jika ternyata cara tersebut tidak memberikan pengaruh, maka ia dapat mengadukan perkaranya pada pengadilan agama (hakim syar’i), tapi tidak terdapat hukuman pisah ranjang, juga tidak terdapat pukulan bagi suami nusyuz…[41] ”
Yang jelas, jika pengetahuan kedua belah pihak atas hak dan kewajiban masing-masing ditingkatkan, maka pelanggaran atas hak-hak pasangan hidup ataupun kekerasan dalam rumah tangga akan dapat diminimalisir. Juga akan dapat diantisipasi pencampuradukan antara anjuran dan kewajiban, penyelewengan hukum dengan dalih hukum (seperti pemukulan istri dengan sewenang-wenang dengan dalih merupakan ajaran Islam sendiri). Suami istri akan saling memahami dan menghormati kedudukan masing-masing. Walaupun demikian, dalam Islam dijelaskan (dalam beberapa hadis dan ayat al-Qur’an) bahwa sebuah rumah tangga tidak dapat dibangun dengan hanya berpijak pada hak-hak dan kewajiban saja tapi melintasi hak-hak dan kewajiban. Rumah tangga bukan ajang untuk saling menuntut dan menggugat. Akan tetapi, harus dibangun berdasarkan rasa kasih dan sayang, pengorbanan, saling memahami, saling memaafkan dan lain-lainnya